Revolusi teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) tengah mendorong pertumbuhan infrastruktur digital secara masif di Asia.
Namun, di balik peluang ekonomi yang menjanjikan, muncul ancaman serius: melonjaknya konsumsi energi dan air untuk pusat data (data center).
Dilansir cnbc.com pada Senin (18/8/2025), perkembangan AI generatif, cloud computing, dan jaringan 5G membuat kebutuhan pengolahan data meningkat drastis.
Pusat data, yang menjadi tulang punggung transformasi digital, kini membutuhkan lebih banyak listrik untuk mengoperasikan server dan air untuk sistem pendingin.
Sejumlah negara di Asia pun mulai kewalahan menjaga keseimbangan antara ekspansi digital dan keberlanjutan lingkungan.
Tiga negara yang menjadi pusat data utama Asia, seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, kini menghadapi tekanan.
Singapura misalnya, meski hanya memiliki tingkat kekosongan pusat data sebesar 2%, telah memberlakukan moratorium pembangunan pusat data baru karena khawatir dengan isu lingkungan.
Proyeksi menunjukkan konsumsi air pusat data di negara di Singapura akan mencapai 65,5 miliar liter per tahun pada 2030, meningkat 36% dari 2025.
Di Jepang, para pengembang menghadapi kendala keterbatasan lahan, kenaikan biaya konstruksi, dan pasokan listrik yang tidak stabil.
Sementara itu Korea Selatan sedang mempercepat pembangunan pembangkit angin lepas pantai dan sistem penyimpanan energi, untuk memenuhi lonjakan permintaan listrik dari industri pusat data.
China juga menghadapi masalah serupa. Pada 2022, pusat data di China menyerap lebih dari 15,7 miliar meter kubik air, terutama di wilayah kering seperti Gansu dan Mongolia Dalam.
Proyek nasional “Eastern Data, Western Computing” di China berisiko memperparah krisis air di wilayah-wilayah tersebut, karena pusat data berpindah ke daerah kaya energi tetapi miskin sumber daya air.
Selama ini, efisiensi pusat data diukur menggunakan indikator Power Usage Effectiveness (PUE). Namun metrik ini dinilai tak memadai lagi, karena tak mempertimbangkan sumber energi yang digunakan dan tingkat konsumsi air.
Contohnya, pusat data di Malaysia dengan PUE 1,3 dianggap efisien, padahal 81% energi negara tersebut masih berasal dari bahan bakar fosil.
Kondisi ini mendorong investor untuk lebih berhati-hati. Risiko air, energi, dan emisi karbon kini mulai diperhitungkan dalam model penilaian proyek.
Berbagai skema pembiayaan hijau mulai dilirik, seperti green bonds, sustainability-linked loans, hingga insentif berbasis ESG.
Namun minimnya transparansi data operasional, khususnya di China, menjadi tantangan tersendiri untuk mengukur aspek keberlanjutan dalam proyek infrastruktur pusat data.
Sumber : IDN Financials