Era digital adalah masa ketika cerita dipampangkan dengan melimpah.
Dengan mudah, Anda akan menemukan orang-orang yang menceritakan berbagai hal di TikTok atau Instagram.
Bercerita adalah kebutuhan manusia yang turut mendorong lahirnya peradaban.
Cerita mereka ada yang lucu, romantis, sedih, dan gembira. Ada yang sekadar berbagi cerita tentang enaknya “gultik” di Blok M, anaknya yang baru diwisuda, hingga berbagai komentar sosial dan politik. Bahkan hal-hal intim, seperti pacaran, kehidupan suami-istri, dan kondom yang dipakai pun berseliweran di sana.
Mengapa demikian? Apakah media sosial hanyalah perpindahan dari lembar di halaman buku harian ke halaman digital? Atau para pengguna media sosial hanya ingin menarik sebanyak mungkin pembaca dan menarik keuntungan finansial dari kegiatannya? Atau ada hal yang lebih jauh dari itu?
Bagi filsuf Richard Kearney dalam bukunya yang berjudul On Stories (2002), bercerita adalah kebutuhan dasar manusia. Mitos merupakan cerita yang orang sampaikan untuk menjelaskan dirinya kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain.
Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, kemudian mengembangkan pandangan filsafat tentang storytelling, sebagaimana dalam drama yang meniru kehidupan manusia, membangun dunia tempat kita bisa berbagi.
Lantas, bagaimana dengan cerita-cerita orang di media sosial? Apakah ini masih kelanjutan dari kegiatan bercerita pada era sebelumnya? Apa maknanya bagi kebudayaan?
Alexander Aur, pengajar dan peneliti filsafat di Universitas Pelita Harapan, Banten, menganalisis fenomena bercerita di era digital ini. Dia mengkajinya dari aspek psikologi kebudayaan.
Bagaimana psikologi kebudayaan memandang gejala ini? Apa manfaatnya kisah-kisah itu bagi peradaban manusia? Bagaimana pula agar cerita itu berkembang?
Kalau Anda juga suka cerita, kami turunkan juga cerita pendek “Nama yang Menawan” karya Yoga Zen, pengarang kelahiran Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Dia pernah menulis novel Tersesat Setelah Terlahir Kembali yang memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023.
Dalam cerita pendeknya kali ini, Yoga mengangkat sepotong fragmen kehidupan masyarakat Minang pada masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), gerakan oposisi yang terjadi di Sumatera Barat pada 1958.
Ada pula puisi “Negara Tak Boleh Mengingat” dan “Puisi yang Lolos dari Hujan” karya Salman Aristo. Salman adalah penyair dan sutradara film. Ia menyutradarai sejumlah film, di antaranya film Jakarta Maghrib (2010), Cinta Dalam Kardus (2013), dan Satu Hari Nanti (2017).
Mari kita menikmati akhir pekan ini dengan membaca cerita-cerita tersebut.●
Penulis : Iwan Kurniawan
Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (1998) dan Master Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina (2020). Bergabung di Tempo sejak 2001. Meliput berbagai topik, termasuk politik, sains, seni, gaya hidup, dan isu internasional.
Di ranah sastra dia menjadi kurator sastra di Koran Tempo, co-founder Yayasan Mutimedia Sastra, turut menggagas Festival Sastra Bengkulu, dan kurator sejumlah buku kumpulan puisi. Puisi dan cerita pendeknya tersebar di sejumlah media dan antologi sastra.
Dia menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (2020).
Sumber : Tempo