Pendiri kerajaan Banjar Islam ini sewaktu muda dikenal dengan nama Raden Samudera.
Sejak usia 7 tahun ia sudah ditinggal kedua orangtuanya. Raden Samudera kemudian dipelihara oleh kakeknya, Maharaja Sukarama, penguasa Kerajaan Negara Daha.
Raden Samudera baik dari garis ibu maupun ayah, merupakan keturunan Raden Sekar Sungsang yang saat memerintah Negara Daha bergelar Maharaja Sari Kaburangan.
Kerajaan Banjarmasin pada hakekatnya adalah lanjutan dari Kerajaan Negara Daha. Ramli Nawawi, dalam tulisannya berjudul Mengungkap Sejarah Banjar: Mengapa Pangeran Sukarama menunjuk Raden Samudera Sebagai Penggantinya?, Banjarmasin Post, 20 Februari 1979, menyatakan Raden Samudera pembangun Kerajaan Banjarmasin, seorang yang mempunyai hubungan darah dengan Raden Sekar Sungsang, raja pertama di Negara Daha.
Ada dua versi silsilah asal usul Raden Samudera yang menghubungkan ia dengan raja-raja yang berkuasa sebelumnya di Negara Daha atau di Negara Dipa. Versi pertama berdasarkan cerita tradisi tertulis, versi kedua berdasarkan cerita tradisi lisan.
Peneliti Belanda JJ Ras dalam Hikayat Banjar, menamakan kedua versi silsilah itu dengan istilah Resensi I dan Resensi II.
Amir Hasan Kiai Bondan dalam Suluh Sejarah Kalimantan menulis, Raden Samudera adalah anak Raden Mantri Jaya anak Raden Bangawan anak Maharaja Sari Kaburangan (Sekar Sungsang). Sementara jika dari jalur ibu, Raden Samudera anak Putri Galuh anak Maharaja Sukarama anak Sekar Sungsang. Selanjutnya, Sekar Sungsang anak Maharaja Carang Lelean (Carang Lelana) anak Pangeran Suryawangsa anak Pangeran Suryanata. Pangeran Suryanata dengan istrinya Putri Junjung Buih adalah pendiri dinasti Kerajaaan Negara Dipa.
Silsilah versi Amir Hasan Kiai Bondan mengikuti Resensi I. Perbedaannya cuma pada nama orangtua Raden Samudera yang menurut Resensi I adalah Raden Mantri Alu anak Raden Suryawangsa anak Sekar Sungsang.
Sementara jika mengikuti Resensi II, Raden Samudera adalah anak Pangeran Tumenggung dan Ratu Intan Sari. Resensi II menyebutkan Pangeran Tumenggung bersaudara dengan Pangeran Sukarama. Keduanya anak dari Raden Mantri (Ratu Anom) anak Sekar Sungsang. Selanjutnya Sekar Sungsang anak Pangeran Aria Dewangsa anak Pangeran Suryanata. Menurut Resensi II, Sekar Sungsang beribu Putri Kabu Waringin anak Patih Lambung Mangkurat. Sebaliknya menurut Resensi I, Sekar Sungsang beribu Putri Kalungsu anak Maharaja Surya Ganggawangsa anak Maharaja Suryanata (Pangeran Suryanata).
Berdasarkan Resensi I di atas, Raden Samudera dilahirkan dari putri raja bernama Putri Galuh Baranakan dengan seorang laki-laki kemenakan raja bernama Raden Mantri Alu. Hubungan Resensi I dan II jika digabungkan, Putri Galuh Baranakan diperkirakan identik dengan Putri Ratna Sari (Ratu Lamak). Ratu Lamak (Putri Ratna Sari) dalam Resensi II menjadi penerus tahta kerajaan Negara Daha setelah Sekar Sungsang mangkat.
Mengapa Maharaja Sukarama mewasiatkan penerus tahta sepeninggal dia nanti adalah Raden Samudera? Sukarama kemungkinan tiada lain adalah saudara Sekar Sungsang. Sukarama bukan anak Sekar Sungsang (Resensi I), bukan pula cucu dari Sekar Sungsang (Resensi II).
Menurut Ramli Nawawi, ketika Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburangan) memerintah yang menjadi mangkubumi adalah Pangeran Sukarama. Jatuhnya tahta dari Sekar Sungsang ke Sukarama dapat diperkirakan bahwa pada waktu Sekar Sungsang meninggal anak-anaknya belum dewasa. Karena itu tahta dipegang oleh Sukarama yang menjabat sebagai mangkubumi dan selanjutnya sebagai mertua dari Putri Galuh Baranakan.
Sebagaimana disebut dalam Resensi II bahwa tahta kerajaan setelah Sekar Sungsang wafat jatuh kepada Ratu Lamak (Putri Ratna Sari), tetapi yang melaksanakan pemerintahan adalah mangkubumi yang menjadi mertuanya yaitu Pangeran Sukarama.
Silsilah asal usul Raden Samudera, menurut Ramli Nawawi, jika disusun kembali maka Raden Samudera anak dari Pangeran Mantri Alu anak Pangeran Sukarama. Sedang ibunya bernama Putri Galuh Baranakan anak Sekar Sungsang. Karena itu wajar jika di dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Pangeran Sukarama mewasiatkan kepada Patih Aria Trenggana bahwa apabila ia mangkat maka yang diangkat untuk menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera.
Seandainya Raden Mantri Alu waktu itu masih hidup, maka dialah yang ditetapkan sebagai calon pengganti. Bukan Pangeran Mangkubumi atau juga Pangeran Tumenggung, karena kedua orang ini sebenarnya kemenakan dari Pangeran Sukarama.
Kemelut di istana Negara Daha sepeninggal Sukarama membuat keselamatan Raden Samudera terancam. Pangeran Mangkubumi naik tahta tapi kemudian terbunuh. Pangeran Tumengung merebut kekuasaan dan mengangkat dirinya menjadi raja selanjutnya. Raden Samudera kemudian menjadi putra mahkota terbuang dan menyembunyikan diri hidup sebagai paiwakan (penangkap ikan/elayan) di Muara Bahan, Balandean, Sarapat dan Kuin. Pertemuannya dengan Patih Masih, penguasa orang-orang Melayu di Banjar Muara Kuin Cerucuk berujung dengan pengangkatan Raden Samudera sebagai raja. Ia kemudian terkenal dengan nama Pangeran Samudera.
Setelah memenangkan pertempuran melawan Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudera resmi berdaulat menjadi raja Banjar Islam pertama. Khatib Dayan utusan Demak mengislamkannya. Kemenangan Pangeran Samudera diperoleh setelah mendapat bantuan pasukan tentara prajurit Demak yang dikirimkan oleh penguasa Demak waktu itu, Sultan Trenggono. Pangeran Samudera bergelar Sultan Suriansyah atau Sultan Suryanullah. Ia mangkat diperkirakan sekitar tahun 1546/1550. Setelah mangkat ia mendapat gelar baru sebagai Penambahan Batu Habang. Peristiwa kemenangan pertempuran terakhirnya pada 24 September 1526 diperingati sebagai Hari Jadi Kota Banjarmasin. (Yudi Yusmili)