Sebanyak 14 perusahaan ternyata telah tutup sejak tahun 2020 lalu. Dengan total 23.367 orang pekerja kehilangan pekerjaan akibat penutupan perusahaan tersebut.

Perusahaan itu tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. Kedua belas perusahaan itu termasuk dalam 36 perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 56.976 pekerja.

Demikian mengutip data PHK karyawan dan anggota Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) periode tahun 2020 hingga awal tahun 2023.

Data itu menunjukkan, di kota Semarang, Jawa Tengah, ada 7 perusahaan yang tutup dengan total PHK mencapai 1.719 pekerja. Perusahaan yang tutup tersebut bergerak di bidang garmen, ekspedisi, mebel, ritel, dan industri kulit.

Masih di Jawa Tengah, KSPN mencatat ada satu perusahaan tekstil di Pekalongan yang memangkas habis 1.876 pekerja.

Di kabupaten Sukoharjo, satu perusahaan tekstil dilaporkan tutup dan berdampak pada 8.125 pekerja kehilangan pekerjaannya.

Dan di kabupaten Demak ada satu perusahaan mebel dilaporkan tutup dan berdampak pada 589 orang pekerja.

Sementara di wilayah Jawa Barat, KSPN mencatat ada satu perusahaan tekstil yang juga telah tutup dan berdampak pada 2.563 pekerja kehilangan sumber pendapatan hidup.

Sementara di Banten ada tiga perusahaan di sektor garmen, sparepart, dan sepatu yang menutup usahanya. Yang berdampak PHK bagi 8.495 pekerja.

Biang Kerok Utama
Presiden KSPN Ristadi mengungkapkan, hingga bulan November 2023, tercatat ada 7.200-an pekerja yang mengalami PHK sejak awal tahun 2023. Yang didominasi PHK oleh perusahaan-perusahaan bidang tekstil dan produks tekstil (TPT) termasuk garmen.

Menurutnya, efek domino perlambatan ekspor global di pasar-pasar utama jadi penyebab penurunan kinerja industri TPT di dalam negeri, hingga menyebabkan penumpukan stok dan berujung pada PHK.

Di saat bersamaan, industri yang berorientasi pasar domestik juga mendapat pukulan akibat serbuan produk impor, baik legal apalagi ilegal.

Belum lagi, tambahnya, modernisasi mesin-mesin pabrik turut meningkatkan potensi PHK demi efisiensi biaya produksi di pabrik-pabrik yang selama ini adalah padat karya alias menyerap banyak tenaga kerja.

“Modernasi mesin dan otomatisasi dua sisi mata uang yang menguntungkan dan merugikan. Untungnya adalah produktifitas dan kualitas lebih bagus, jeleknya pasti akan memangkas tenaga kerja manusia,” katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (4/12/2023).

“Selama ini yang sudah dirasakan adalah di sektor industri pertenunan. Dulu 1 orang pegang paling banyak 3 mesin, sekarang 1 orang minimal pegang 8 mesin tenun,” terang Ristadi.

Memang, imbuh dia, efek modernisasi di industri garmen akan lebih lambat terasa karena harga mesin yang masih mahal. Sementara untuk menaikkan harga jual produk tak mudah.

“Sekarang kan yang dituntut kualitas lebih bagus, lebih cepat pengerjaan, tapi harga minta lebih murah, era disrupsi,” tukasnya.

“Jadi kalau tak siaga ya kalau pabrik nggak kuat ya tutup. Pelan-pelan industri tekstil nasional terutama yang berorientasi lokal pasar dalam negeri akan habis. Jadi, selain otomatisasi, serbuan produk luar jadi penyebab utama PHK,” paparnya.

Karena itu, dia meminta pemeritah gerak cepat melakukan upaya-upaya menekan laju tantangan yang memukul industri di dalam negeri.

“Untuk yang berorientasi pasar lokal, setop impor ilegal dan batasi perjanjian dagang. Operasi pasar barang ilegal, bantuan modernisasi mesin tekstil, hingga upaya dari kebijakan perbankan misalnya pajak lunak,” kata Ristadi.

“Untuk industri yang berorientasi ekspor, dengan kebijakan pajak, harga energi, dan perizinan yang murah dan cepat. Serta, bantu promosi perluasan pasar tekstil di luar AS dan Uni Eropa,” pangkasnya.

Source : CNBC Indonesia