Putri Junjung Buih merupakan sosok yang tidak asing di Kalimantan Selatan dan wilayah sekitarnya.

Tapi siapa sesungguhnya Putri Junjung Buih masih belum jelas hingga sekarang. Riwayat hidupnya diselimuti kisah legenda.

Junjung Buih pernah menjadi nama sebuah plaza di Kota Banjarmasin pada tahun 1990-an. Plaza Junjung Buih menempati bangunan di Hotel Kalimantan Jalan Pangeran Samudera.

Plaza itu lenyap seiring pasca meletusnya kerusuhan Jumat 23 Mei 1997. Bangunan Hotel Kalimantan tetap ada walau berganti-ganti nama menjadi Hotel Arum, dan kini bernama Hotel A. Di lokasi sekitar hotel ini berdiri pada tahun 1980-an terdapat klinik kesehatan milik tentara yang juga bernama Junjung Buih.

Siapa Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar ia dikenal sebagai suami Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah raja putri pertama di Kalimantan.

Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alaxander the Great, raja Makedonia).

Versi cerita rakyat, kemunculan Putri Junjung Buih ke dunia pun bak dongeng. Ia ditemukan dan muncul dari atas buih melalui hasil pertapaan Lambung Mangkurat, Patih Kerajaan Negara Dipa. Dari kejadian inilah lalu ia mendapat nama Putri Junjung Buih.

Masyarakat di Desa Balukung, Kecamatan Bakumpai, Kabupaten Barito Kuala, Kalsel mempercayai ulakan (pusaran air) di daerah mereka adalah merupakan tempat kemunculan sang putri.

Versi yang lebih mudah dicerna akal diungkapkan oleh Anggraini Antemas dalam bukunya “Orang2 Terkemuka dalam Sedjarah Kalimantan”.

Ia menyebutkan ratu berparas cantik dan sewaktu kecil bernama Galuh Cipta Sari ini lahir di suatu kampung bernama Bangkiling, Kabupaten Tabalong.

“Masih gelap sebenarnya asal usul sejarah kelahiran putri ini. Tiada diketahui tahun kelahirannya dan siapa orangtuanya,” demikian Anggraini. Ia memperkirakan Junjung Buih lahir sekitar tahun 1280.

Junjung Buih dipelihara oleh nenek tua bernama Ning Bangkiling. Semasa kanak-kanak ia mempunyai saudara angkat namanya Indung Sijarang dan Pujung, putri dan putra Ning Bangkiling.

Ketiga orang anak ini kemudian dibawa oleh orangtuanya dari Kampung Bangkiling ke pedusunan Balangan yang terletak di lembah gunung Batu Piring. Gunung Batu Piring tak berapa jauh dari Paringin, ibukota Balangan. Di sinilah mereka dibesarkan.

Pada suatu hari ketika Galuh Cipta Sari sedang mandi dan mencuci di Sungai Balangan, tiba-tiba ia tergelincir dan terjatuh ke dalam air. Ia hanyut dan dibawa arus.

Lambung Mangkurat yang sedang bersemedi untuk mencari seorang raja akhirnya menemukan gadis yang hanyut terbawa arus itu. Ketika ditemukan oleh Lambung Mangkurat, Galuh Cipta Sari terapung-apung di sungai, diselubungi oleh buih besar.

Ada beberapa permintaan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Lambung Mangkurat sebelum ia boleh membawa putri tersebut ke darat. Antara lain: Galuh Cipta Sari minta dibuatkan mahligai yang tiang utamanya dari batung batulis (bambu bersurat), kain langgundi yang ditenun oleh 40 dara di Candi.

Setelah segala permintaannya dipenuhi, Galuh Cipta Sari bersedia dibawa Lambung Mangkurat ke keraton Negara Dipa. Galuh Cipta Sari kemudian dinobatkan menjadi raja, sesuai amanat almarhum ayah Lambung Mangkurat. Namanya diubah menjadi Putri Jung Buih yang artinya putri tersebut ditemukan di dalam sebuah buih raksasa. YA