Ini adalah kisah pendiri Canva, Melanie Perkins. Dahulu saat mendirikan Canva, Melanie ditolak oleh 100 investor karena dianggap aplikasi tidak berguna.

Namun, faktanya anggapan itu salah. Kini, Canva malah sukses jadi aplikasi desain terfavorit.

Bagaimana ceritanya?

Melanie Perkins lahir di Perth, 13 Mei 1987. Sejak kecil dia sangat hobi merancang dan menggambar banyak poster.

Atas dasar inilah, selama menempuh pendidikan dari jenjang terendah hingga pendidikan tinggi, dia menjadikan menggambar sebagai pelajaran utama.

Selama menjalani profesi tersebut dia sama sekali tidak merasa kesulitan saat menggunakan aplikasi desain di komputer.

Sekalipun ada kesulitan, itu dijadikannya sebagai tantangan dan penyemangat. Passion-lah yang membuatnya bisa bertahan menjalani profesi ini.

Ini tentu berbeda dengan orang awam yang ingin menumbuhkan passion dan belajar desain grafis. Kadang, semangat tingginya langsung patah saat mengetahui betapa sulit menggambar di aplikasi.

Dan, hal inilah yang sama sekali tidak dilihat oleh Melanie. Dia memandang aplikasi desain sangatlah mudah, dan seharusnya orang lain bisa melakukannya.

Namun, pandangan Melanie tersebut berubah pada 2006. Ketika itu dia yang berusia 19 tahun bekerja sambilan sebagai guru les desain kepada anak-anak sekolah. Saat mengajar inilah dia mulai sadar ada orang tak bisa memakai aplikasi desain karena ribet.

Faktanya, hampir tidak ada satupun muridnya yang bisa menggunakan Photoshop, Coreldraw, Adobe Stock, dan sebagainya. Sekalipun ada yang bisa itupun dilakukan berkat pengajaran dan latihan berulang kali. Sangat melelahkan.

Terlebih, saat menciptakan satu poster, misalkan, prosesnya sangat rumit dan panjang. Seseorang harus merancang dan menggambarnya. Lalu dilanjut mengkonversi ke ukuran yang diinginkan, sebelum akhirnya dicetak.

“Dari sinilah aku harus bisa membuat seluruh prosesnya menjadi simpel,” katanya sembari menghela nafas, dikutip Forbes.

Beranjak dari keresahan inilah Melanie hendak merancang suatu aplikasi desain grafis yang ringkas dan mudah dipahami. Beruntung, ada kawan Melanie, Cliff Obrecht, yang jadi teman diskusi soal ini.

Singkat cerita, hasil diskusi itu kemudian berujung pada keputusan mendirikan aplikasi desain buku tahunan siswa, Fusion Books, pada 2007. Lewat aplikasi ini para siswa tidak perlu memanggil vendor untuk merancang buku tahunannya.

Hanya lewat Fusion Books siswa bisa mengatur sendiri model di buku tahunannya. Apalagi sistem aplikasi tersebut sudah disediakan berbagai template rancangan, lengkap dengan beragam emoji, gambar dan animasi. Jadi siswa hanya perlu mengklik-klik saja di komputer.

Tak diduga, Fusion Books yang awalnya hanya ada di satu sekolah kemudian ‘meledak’ dipakai lebih dari 200 sekolah mitra. Meski begitu, pencapaian ini tak membuat Melanie puas.

Dia ingin membuat aplikasi desain yang multifungsi. Tak hanya untuk buku tahunan, tetapi juga kartu nama, desain poster, presentasi, dan sebagainya.

Sempat Ditolak
Sayang, upaya mewujudkan aplikasi itu tak mudah. Kepada Entrepreneur, Melanie menjelaskan tantangan terbesarnya adalah persoalan dana. Dia sulit mendapat dana dari investor. Beberapa kali bolak-balik hingga menemui 100-an investor, gagasan Melanie dan Obrecht tak bisa terwujud.

Para investor memandang bisnis desain grafis sudah mentok. Bisa dipaksakan, maka dana investor yang diberikan kepada Melanie akan menguap begitu saja.

Hingga akhirnya, secercah harapan pun tiba pada tahun 2011. Di Perth ada kompetisi startup yang mendatangkan investor Bill Tai. Melanie bergegas mendaftar dan tak disangka malah menang. Dari sini dia berkesempatan pergi ke Silicon Valley.

Singkat cerita, selepas dari pusat teknologi AS itulah dia mulai mendapat investasi senilai US$ 3 juta pada 2012. Berkat dana itulah, Melanie-Obrecht leluasa berkarya. Beruntung, seorang eks-pegawai Google asal Sydney, Cameron Adams, bersedia membantu keduanya.

Adam yang kelak menjadi Co-Founder disebutkan membantu di sektor pengembangan teknologi. Dari hasil diskusi ketiganya itulah, tepat pada 1 Januari 2013 lahir aplikasi desain grafis bernama Canva.

Dalam laman resmi perusahaan, Canva berupaya membuat semua orang bisa merancang grafis tanpa perlu keahlian desain grafis mumpuni. Dalam sekejap, aplikasi ini sukses dipakai 50.000 pengguna. Lalu setahun kemudian sudah dipakai 600.000 pengguna dengan 3,5 juta desain.

Kini, Melanie Perkins tinggal memetik buah dari jerih payahnya itu. Berkat Canva, Forbes (2024) mencatat dia memiliki harta US$ 3,6 miliar atau Rp 56 triliun. Sementara Canva sendiri menurut The Social Shepherd sudah mendulang keuntungan hingga US$ 1,7 miliar atau Rp 26 T.

Source : CNBC Indonesia