Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meneliti upaya kelompok gender tak mainstream berupa bissu dan calabai dalam mencari inklusi dengan menjalankan ibadah haji ke Makkah.
Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN Halimatusa’diah mengatakan bissu dan calabai adalah tokoh spiritual Bugis kuno pra-Islam di Sulawesi Selatan.
“Mereka perlu melakukan strategi untuk tetap mendapat penerimaan dari masyarakat,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Trans People Naik Haji: Sejarah dan Tradisi Keberagaman Bissu dan Calabai yang dipantau di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Bagi bissu dan calabai, ibadah haji memungkinkan komunitas mereka mendapat pengakuan sebagai bagian sah dari masyarakat Muslim Segeri. Setelah menyelesaikan ibadah haji, mereka dapat diundang untuk mengambil peran keagamaan utama dalam upacara Segeri seperti mappeca sure’ (peringatan asyura), dan assalama (ritual berkah dan keselamatan).
Kelompok transgender di Kota Segeri, Sulawesi Selatan, membingkai ziarah mereka ke Makkah sebagai model strategis yang dapat diikuti oleh para transgender lainnya di Indonesia untuk dapat diterima secara sosial.
Bissu dan calabai di Suku Bugis memiliki sejarah panjang pergumulan dengan agama mulai sebagai ahli spiritual agama Bugis kuno hingga menjadi bagian dari Muslim.
Mereka dalam berbagai tahapan religiositasnya memiliki cara yang unik agar menjadi bagian yang diakui dalam berbagai kepercayaan tersebut.
Halimatusa’diah mengatakan kosmologis dalam budaya Bugis melahirkan pluralisme gender. Agama Bugis kuno mengenal lima gender, yaitu oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (perempuan maskulin), calabai (laki-laki feminim), dan bissu.
Bissu adalah tennia uruwane tenniato makkunrai yang artinya bukan laki-laki atau perempuan melainkan gabungan dari oroane, makkunrai, calabai, dan calalai, atau gabungan kelima jenis kelamin Bugis.
Namun, realitas yang dihadapi bahwa pluralisme gender yang ada di Indonesia didebatkan bukan bagian dari kebudayaan Indonesia, karena wacana yang dominan di Indonesia adalah pemilahan gender laki-laki dan perempuan.
Peranan bissu bagi masyarakat Bugis telah tertulis di dalam La Galigo. Pada periode sebelumnya, bissu dianggap sebagai praktik ritual yang termasuk dalam kaum bangsawan pada masyarakat Bugis karena afiliasi mereka yang kuat dengan kerajaan.
Bissu juga mengandung unsur manusia dan unsur roh yang meningkatkan kemampuan mereka dalam berhubungan dengan dunia roh dan juga kontak dengan para dewa.
“Dalam beberapa sumber yang saya dapatkan, misalnya dalam upacara keagamaan, para bissu melakukan pemberkatan atas segala sesuatu terutama dalam menjaga kesuburan, sebelum menanam, ataupun memanen padi,” kata Halimatusa’diah.
Bissu Kahar Eka asal Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, mengatakan jumlah bissu yang tersisa di Kota Segeri saat ini hanya tiga orang saja.
“Saya berhaji untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa kami calabai dan bissu masih kenal rukun iman dan rukun Islam,” ucapnya.
Eka menjalankan ibadah haji pada pertengahan tahun 2023 lalu. Dia tergabung dalam Kloter 22 Debarkasi Makassar dengan jumlah jamaah sebanyak 390 orang.
Menurut dia, ibadah haji menjadikannya pria tulen karena status bissu kerap dikenal masyarakat memiliki tubuh yang lemah gemulai, rambut panjang, dan memakai gincu.
Perjalanan Eka dalam melaksanakan ibadah haji mendukung perjuangannya untuk inklusi sosial di Kota Segeri.
Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN Syamsurijal mengatakan tradisi berhaji menjadi cara bissu untuk beradaptasi dengan Islam atau untuk menunjukkan kepada penduduk Bugis bahwa mereka juga Muslim yang baik.
Bagi masyarakat Bugis, kesempurnaan Islam memang dilihat dari haji. Poin rukun islam lainnya belum bisa menjadi indikator seseorang sampai pada puncak keislaman, tapi haji bisa menunjukkan hal tersebut.
“Naik haji menjadi menjadi bagian posisi penting di dalam kehidupan sosial masyarakat,” pungkas Syamsurijal.
Source : Antara