Angka harapan hidup di Asia alami peningkatan. Meski demikian umur yang panjang tersebut tidak diiringi dengan situasi yang sehat, sehingga justru menjadi beban bagi warga lanjut usia.
“Angka harapan hidup meningkat tapi belum tentu sehat,” kata Aiko Kikkawa Senior Economist Asian Development Bank (ADB) dalam konferensi pers, di Tbilisi, Georgia, Kamis (2/5/2024)
Data ADB memperlihatkan, sejak tahun 2000, Asia dan Pasifik mengalami peningkatan rata-rata harapan hidup saat lahir sebesar 5,6 tahun di negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah, 5,2 tahun di negara berpendapatan menengah atas, dan 4,4 tahun di negara berpendapatan tinggi.
Di negara berkembang di Asia, peningkatan umur panjang yang signifikan terjadi di Kamboja, naik 12,1 tahun atau 20,6%; Republik Demokratik Rakyat Laos (Lao PDR), sebesar 9,7 tahun atau 16,7%; dan Timor-Leste, sebesar 9,7 tahun atau 16,6%. Angka harapan hidup di kawasan ini diperkirakan akan terus meningkat dalam 3 dekade mendatang sebesar 4,1 tahun untuk laki-laki dan 3,7 tahun untuk perempuan.
Dalam 2 dekade terakhir, negara-negara berpendapatan rendah dan tinggi telah memperoleh harapan hidup sehat pada usia 60 tahun. Seperti Bangladesh sebesar 2,2 tahun, Maladewa 3,1 tahun, Mongolia 2,3 tahun, Republik Korea (ROK) 3,9 tahun, Singapura 3,3 tahun tahun, dan Thailand 2,3 tahun. Namun, perbedaan antara angka harapan hidup dan angka harapan hidup sehat pada usia 60 tahun, atau jumlah tahun yang dihabiskan dalam kondisi kesehatan yang kurang baik juga meningkat.
Sederet penyakit yang mengintai adalah jantung koroner, stroke dan diabetes masih tinggi dengan potensi 80% di seluruh subwilayah. Kemudian beban penyakit akibat Alzheimer dan bentuk demensia lainnya meningkat sebesar 7,8%.
Khusus untuk perempuan, ada risiko diabetes dan hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan pria. Misalnya, di Indonesia, persentase lansia yang menderita hipertensi adalah 12% lebih tinggi pada perempuan dan di Bangladesh angka penderita diabetes 11% lebih tinggi.
Wanita juga lebih mungkin untuk melaporkan peningkatan gejala depresi. Di RRC dimana lansia mempunyai angka kematian tertinggi prevalensi gejala depresi yang meningkat, persentasenya adalah 43% pada wanita yang lebih tua.
ADB mencatat tidak semua negara dapat memenuhi cakupan kesehatan bagi lansia. Thailand salah satu yang lebih maju, namun India berada pada urutan paling rendah dengan cakupan asuransi bagi lansia hanya 21%. Bangladesh, Indonesia dan India juga dalam situasi yang tidak baik, dengan separuh penduduk tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan.
“Pemerintah harus memperluas layanan dan intervensi yang tepat seperti peningkatan investasi,” ujarnya.
Langkah yang bisa ditempuh misalkan promosi makan sehat konsisten dan investasi pada layanan kesehatan primer infrastruktur, dan penciptaan sistem pemberian layanan kesehatan yang terintegrasi untuk melayani kebutuhan masyarakat dari segala usia.
Selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan tahunan gratis dan evaluasi gaya hidup harus tersedia bagi orang-orang dari segala usia. Di sisi lain bisa menggunakan instrumen fiskal dengan mengenakan pajak lebih bagi makanan tidak sehat.
Source : CNBC Indonesia