Perjalanan hidup tidak seorang pun bisa menebaknya. Begitu juga mungkin yang terjadi pada Scott Farquhar.

Pernah kehilangan surat penting yang bisa membawanya ke pekerjaan bereputasi tinggi justru membawanya menjadi salat seorang miliarder tersukses di dunia saat ini.

Forbes mencatat, saat ini Scott Farquhar memiliki kekayaan sampai dengan US$11,5 miliar. Kalau dirupiahkan dengan kurs Rp16.020 per dolar AS, kekayaan itu tembus Rp184,23 triliun.

Kekayaan itu membuatnya menduduki peringkat 179 orang terkaya di dunia dan 5 di Australia.

Lalu siapa sebenarnya Scot Farquhar dan bagaimana kisah hidupnya sehingga dia bisa menjelma menjadi orang sekaya itu?

Mengutip berbagai sumber, Scott Farquhar lahir di Australia pada Desember 1979 dari keluarga kelas buruh biasa di daerah Castle Hill barat laut Sydney.

Orang tuanya melakukan banyak pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari menjadi buruh restoran cepat saji hingga bekerja di pusat pembuangan limbah dan kalau malam mencari uang di pompa bensin.

Meski berasal dari keluarga sederhana, Scott tidak menyadari status ekonomi yang lebih rendah dari kebanyakan teman-temannya. Kesadaran muncul saat ia bermain dan berkencan dengan seorang gadis yang bersekolah di swasta elit.

Dari perkenalan itu, ia memahami bahwa status ekonominya lebih rendah dibanding teman-temannya. Kesadaran semakin menguat tatkala ia menginginkan komputer.

Scott masih terngiang saat merengek ke orang tuanya untuk membelikannya komputer. Padahal, jelas-jelas itu barang tidak mungkin mampu dibeli orang tuanya.

“Saya ingat menangis sampai tertidur, meminta komputer dari ayah saya sambil berkata, ‘Teman saya punya, kenapa aku tidak punya?’,” katanya seperti dikutip dari dailymail.

“Tidak menyadari bahwa mungkin ada beban besar pada ayah saya untuk mampu membeli sesuatu seperti itu. Aku merasa tidak enak sekarang, tapi aku menangis sampai tertidur,” tambahnya.

Meskipun demikian, keinginannya untuk memiliki komputer akhirnya kesampaian juga. Suatu hari, sekitar tiga bulan setelah merengek itu, ayahnya membelikan sebuah komputer bekas.

Sayang, komputer tidak bisa dipakai apa-apa, termasuk untuk bermain game dan apa pun yang diinginkan Scott karena terlalu ketinggalan jaman.

Scott berupaya memperbaikinya. Selama berbulan-bulan ia berusaha untuk membuat komputer itu berfungsi.

Meski tidak berhasil, dari situlah interaksi Scott dengan komputer kemudian terjadi dan makin akrab.

Kemampuannya di bidang komputer pun makin berkembang. Pengetahuan itulah yang kemudian mendorongnya bercita-cita untuk menjadi seorang insinyur saat bersekolah.

Namun, di tengah cita-cita itu, ia justru mengajukan beasiswa ke Akademi Angkatan Pertahanan Australia. Ia mengambil cuti sekolah demi menjalani serangkaian tes, salah satunya fisik untuk mendapatkan beasiswa tersebut.

Ia pun diterima menjadi calon perwira. Namun sayang, surat lolos seleksi itu hilang dan baru ditemukan di rumah keluarga Scott dua bulan setelah waktu konfirmasi terakhir.

Setelah kejadian itu, Scott memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Universitas New South Wales. Keputusan itulah yang kemudian mengubah arah hidupnya.

Di kampus itu ia bertemu dengan pria bernama Mike Cannon-Brookes. Ia dan teman barunya sering bekerja bersama dalam beberapa proyek kelas yang sama.

Mereka juga akhirnya mengikuti program beasiswa yang sama meski bekerja dengan perusahaan yang berbeda. Mike keluar dari program tersebut untuk membangun perusahaannya sendiri, Bookmark Box, bersama teman sekelasnya, Niki Scevak.

Ia kemudian memulai perusahaan modal ventura bernama Blackbird.

Mike dan Niki mengumpulkan sedikit uang dari keluarga dan teman-teman. Kemudian mereka menyewa beberapa ruang kantor dan membangun perusahaan tersebut.

Tapi kemudian, mereka menjualnya pada 2000 dengan harga kecil ke sebuah perusahaan bernama Blink.

Sementara Scott di sisi lain menyelesaikan program beasiswa dan kemudian bekerja untuk IBM, PwC, dan ASX (The Australian Stock Exchange).

Namun dalam perjalanannya, Scott tidak menyukai dunia kerja di perusahaan. Scott kecewa dengan dunia korporat.

Di tengah rasa itulah gayung bersambut. Saat itu Mike mengirim email ke sejumlah teman kuliahnya pada Juni 2001 menanyakan, “Sebelum Anda mengambil pekerjaan pascasarjana, apakah ada yang mau melakukan sesuatu yang gila dan melakukan urusan kita sendiri?”

Scott menjadi satu-satunya teman Mike yang menjawab. Dasarnya satu; pengalaman kerja sama dengan Mike saat di kampus.

Dengan hanya berbekal utang kartu kredit senilai 5.000 euro, Scott dan Mike mendirikan perusahaan perangkat lunak bisnis Atlassian pada 2002.

Tujuan mereka mendirikan perusahaan itu sebenarnya sederhana; tidak mau memakai jas, dan mendapat penghasilan lebih dari US$35 ribu setahun.

Penghasilan itu sejatinya sama dengan gaji yang ditawarkan oleh bank-bank besar dan firma akuntansi di Australia kepada para sarjana saat itu.

“Pada saat itu saya tinggal di rumah bersama di dekat kampus dan makan mie ramen setiap hari. Kami tidak akan rugi banyak,” kata Scott seperti dikutip dari BBC.

Proses persiapan pendirian perusahaan yang singkat dan dukungan teknis buruk membuat perusahaan tersebut sempat berjalan tak sesuai harapan.

Pesanan diperoleh hanya beberapa dan itu pun datang dari orang-orang yang mereka kenal saja. Harga yang didapat pun cuma US$800.

Namun Scott dan Mike tak mau menyerah. Mereka menjalankan strategi baru untuk mendongkrak penjualan perangkat lunak; menjualnya secara online dengan harga murah.

“Harus diakui, perangkat lunak kami tidak memberikan banyak manfaat pada awalnya, jadi kami tidak bisa menjualnya dengan harga tinggi,” jelas Farquhar seperti dikutip dari Forbes.

“Jika Anda tidak ingin menjualnya dengan harga yang tinggi, Anda harus menjualnya dalam jumlah besar. Untuk menjualnya dalam jumlah besar, barang tersebut harus dijual secara global. Dan jika Anda menjualnya secara global, barang tersebut harus dijual secara online,” tambahnya.

Strategi itu berbuah manis. Suatu hari di tahun 2003, sebuah faks pesanan pembelian perangkat lunak datang dari American Airlines. Faks itu masih tergantung di luar kantor Scott di kantor pusat perusahaan di Sydney.

Mereka membeli perangkat lunak buatan Scott senilai US$1.000 tanpa pernah bicara dengan tim Atlassian.

Itu adalah akhir dari apa yang digambarkan Scott sebagai titik balik bisnisnya.

“American Airlines adalah perusahaan pertama yang mengirimi kami sejumlah uang dan berkata, ‘Kami menginginkan perangkat lunaknya. Itu adalah momen yang cukup besar. Tentu saja, kami terus melihat model tersebut,” katanya.

Pembelian itu membuat arus kas perusahaan kian positif. Scot dan Mike kemudian memanfaatkannya untuk berinvestasi besar dalam penelitian dan pengembangan.

Upaya tersebut membuat kinerja perusahaan makin moncer.

Valuasinya perusahaan melonjak hingga US$3,3 miliar. Peningkatan valuasi itulah yang kemudian membuat Scott menjadi miliarder.

Pada 2015, mereka kemudian membawa Atlassian melantai di bursa Australia. Aksi korporasi itu membuat nilai pasar Atlassian melesat menjadi US$4,4 miliar dan membuat kekayaat Scott makin bertumpuk.

Kekayaan dipakai Scott salah satunya untuk membeli perumahan kuno berusia 154 tahun. Harga perumahan yang memiliki tujuh kamar itu tembus US$52 juta.

Pembelian rumah itu merupakan yang termahal di Australia.

Source : CNN Indonesia