Orang-orang Yahudi tengah menjadi salah satu sorotan utama dunia setelah pasukan tentara Israel yang tak kunjung berhenti menyerang Palestina sejak 7 Oktober 2023 lalu.
Diketahui, Yahudi adalah agama dan bangsa mayoritas di Israel yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Meskipun selalu terlibat konflik dengan sejumlah negara di Timur Tengah, Israel tergolong sebagai negara maju. Bahkan, Israel sangat maju dalam hal harapan hidup, pendidikan, pendapatan per kapita, dan indikator indeks pembangunan manusia lainnya.
Tak hanya Israel sebagai negara maju, sejarah dunia juga telah menunjukkan bahwa ternyata banyak orang Yahudi yang pintar dan berprestasi.
Sebagai informasi, Yahudi yang sering disebut Jew atau Jewish adalah sebutan bagi orang-orang yang memeluk agama Yahudi.
Melansir dari Britannica, sosok Yahudi dalam cakupan luas adalah orang keturunan Ibrani yang disebutkan dalam Alkitab. Pada zaman dahuku kala, Yahuda adalah anggota Yehuda, yakni suku yang merupakan salah satu dari 12 suku penguasa Tanah Terjanjikan.
Pada era 538 Sebelum Masehi (SM), orang-orang Yahudi secara keseluruhan awalnya disebut Ibrani atau dikenal sebagai bangsa Israel. Lalu, seluruh penganut Yudaisme disebut Yahudi.
Yahudi juga dapat merujuk sebagai agama. Dalam agama, Yahudi kerap disebut Yudaisme, yakni agama yang percaya hanya pada satu Tuhan.
Kembali pada orang Yahudi yang terkenal pintar. Sebagai contoh, pada abad ke-20 banyak orang Yahudi di Barat yang sukses menjadi tokoh intelektual dan menempati kelas tertinggi ekonomi. Selain itu, tak sedikit dari mereka yang sukses meraih penghargaan tertinggi ilmu pengetahuan, yakni Nobel.
Sebanyak 16 persen pemenang Nobel sains dalam kurun 1901-1962 adalah orang Yahudi, salah satunya adalah Albert Einstein yang merupakan keturunan Yahudi.
Riset Paul Burstein dalam “Jewish Educational and Economic Success in the United States” (2007) secara spesifik menyebutkan bahwa di Amerika Serikat (AS), bangsa Yahudi tercatat lebih sukses secara ekonomi dan pendidikan dibanding kelompok bangsa dan ras lain.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa resep rahasianya?
Topik terkait kesuksesan orang Yahudi sebenarnya sudah menarik perhatian para peneliti sejak lama. Menurut Richard Lynn dan Satoshi Kanazawa dalam “How to explain high Jewish achievement” pada 2008, ada dua hipotesis untuk menjelaskan pencapaian tinggi mereka.
Pertama, orang Yahudi terbukti memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Keberhasilan orang Yahudi yang sukses dan punya pencapaian tinggi terjadi sudah sejak lama. Tak terhitung berapa banyak dari mereka yang berhasil menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari sini, banyak orang memandang mereka punya kecerdasan luar biasa. Sayangnya, pandangan itu diperoleh hanya dari pengamatan secara empiris dan pengukuran kualitatif.
Jacobs dalam tulisan Jewish Contribution to Civilization (1919) mengungkapkan bahwa Yahudi Jerman berada di puncak kesuksesan Eropa. Dasar Jacobs menyampaikan hal tersebut adalah pandangan empiris yang melihat kesuksesan orang Yahudi di Eropa ketika itu.
Namun, pernyataan tersebut belum valid akibat belum ada alat ukur berupa tes kecerdasan atau tes Intellectual Quotient (IQ).
Saat tes IQ mulai berkembang di pertengahan abad ke-20, hipotesis yang menyebut orang Yahudi punya kecerdasan tinggi, salah satunya pernyataan Jacobs, bisa diperkuat dengan hasil tes tersebut. Hasil tes memang menunjukkan bahwa benar orang Yahudi punya kecerdasan di atas rata-rata.
Sedangkan alasan kedua, kesuksesan mereka didasari oleh nilai-nilai budaya yang kuat. Nilai budaya yang dimaksud Lynn dan Kanazawa adalah etos kerja untuk mengejar kesuksesan.
Bagi keluarga Yahudi, kesuksesan adalah hal mutlak yang harus diraih setiap anak di tiap generasi. Alhasil, tiap orang tua mengharuskan anak-anaknya untuk berprestasi. Mereka memberikan asupan gizi terbaik dan memberi motivasi supaya memiliki hobi membaca.
Sebab, mereka percaya kalau literasi adalah satu-satunya cara keluar dari kebodohan. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh mereka berdasarkan kasus di era Kekhalifahan Islam Abbasiyah (750 M-1258 M).
Ketika itu, mengacu pada riset berjudul The Chosen Few: How Education Shaped Jewish (2012), mereka mengalami peristiwa traumatis berupa penghancuran kuil. Dari sini, mereka kemudian terpantik untuk bisa membaca dan melepas diri dari jeratan buta huruf.
Singkat cerita, saat sudah memiliki literasi mumpuni, mereka meninggalkan pekerjaan lama di sektor pertanian dan fokus di sektor literasi dan pendidikan. Ketika menekuni sektor baru inilah mereka percaya kalau dua hal itu terbukti membuat sejahtera dari sisi pendapatan. Atas dasar inilah, kelak orang Yahudi sangat berorientasi pada pendidikan.
Tak hanya dua alasan itu saja, pendapat lain juga disampaikan sejarawan Jerry Z. Muller di Project Syndicate. Menurutnya, kesuksesan orang Yahudi juga berkaitan erat dengan diskriminasi yang selama ini mereka alami yang lantas berdampak pada dua hal.
Pertama, mereka jadi memiliki relasi kuat antar-Yahudi. Kelak, relasi ini menjadi pembuka rezeki. Mereka menjadi saling mengenal, bisa memulai pekerjaan dan bisnis baru.
Kedua, mereka menjadi belajar untuk mencari peluang baru yang tidak diminati banyak orang, sehingga bisa mengangkat derajatnya. Belakangan, mereka bakal menekuni pekerjaan sebagai pedagang atau menciptakan penemuan baru yang belum dipikirkan sebelumnya.
Soal kreasi penciptaan penemuan baru yang berkaitan dengan kreativitas, riset Paul Burstein dalam “Jewish Educational and Economic Success in the United States” (2007) menyebutkan, hal ini bisa terjadi karena mereka skeptis terhadap ide-ide konvensional lokal yang ditumbuhkan di tempat mereka tinggal.
Dengan demikian, saat tidak mau menggunakan ide-ide tersebut, otak imigran Yahudi langsung berpikir kreatif menciptakan cara baru yang kelak merangsang kreativitas dan kecerdasan intelektual. Nantinya, semua itu berujung pada kesuksesan di bidang ekonomi.
Source : CNBC Indonesia