Kata bajingan sudah telanjur dimaknai dengan makna yang negatif.

Padahal jika menelusuri sejarah awal kemunculan kata bajingan, ternyata makna aslinya sangat jauh dari apa yang dimaknai saat ini. Lantas apa makna aslinya?

Sebelum mengetahui apa makna asli bajingan, tentu saja perlu dipahami bahwa banyak istilah dalam bahasa merupakan produk dari apa yang ada di masyarakat. Sebab, bahasa sendiri adalah produk dari budaya.

Salah satunya adalah kata bajingan, yang muncul dari sebuah produk budaya dalam masyarakat Jawa.

Sejarah dan Arti Kata Bajingan

Kata bajingan merujuk pada sebuah profesi yang ada dalam masyarakat Jawa.

Bajingan artinya sopir atau pengendali dari moda transportasi tradisional masyarakat Jawa yaitu gerobak sapi.

Singkatnya, bajingan adalah sebutan untuk orang yang mengendalikan gerobak sapi. Tentu kata ini sangat jauh dari apa yang dimaknai sekarang sebagai makian atau umpatan.

Bahkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bajingan diartikan sebagai penjahat, pencopet atau makian untuk orang yang kurang ajar.

Tentu makna bajingan sebagai produk budaya masyarakat Jawa dengan makna menurut KBBI telah bergeser sangat jauh.

Dalam buku “Mengulas yang Terbatas, Menafsir yang Silam” karya Mahasiswa Prodi Sejarah Universitas Sanata Dharma 2015, bajingan dalam KBBI merujuk kepada kata dasar bajing yang berarti tupai, yakni binatang pengerat yang sering mencuri kelapa dan dianggap sebagai pengganggu masyarakat.

Kata bajing kemudian diturunkan menjadi kata bajingan untuk menggambarkan sifat jahat dari seseorang yang menjadi sumber keresahan lingkungan masyarakat.

Penafsiran makna KBBI ini yang kemudian banyak dicerna masyarakat Indonesia tanpa memandang sejarah awal mula munculnya kata tersebut.

Ada Sebelum Era Sultan Agung, Kata Bajingan Punya Makna yang Mendalam

Kata Bajingan sendiri diperkirakan sudah muncul dan berkembang pertama kali di wilayah Jawa, terutama Jawa Tengah, sebelum era kekuasaan Sultan Agung.

Pada masa keemasannya, peran para bajingan sangat vital bagi kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan Jawa yang mayoritas memiliki pekerjaan sebagai petani.

Gerobak sapi pada masa itu merupakan satu-satunya transportasi yang berkembang. Gerobak sapi dapat mengangkut beban yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengangkutan manual oleh manusia perseorangan.

Menurut Aipda Latif Munir, salah seorang pendiri dari Paguyuban Gerobak Sapi Langgeng Sehati Bantul, bajingan sendiri diambil dari nama seorang tokoh pencetus gerobak sapi sebagai moda transportasi di wilayah Jawa yaitu ‘Mbah Jingan’.

Mbah Jingan digambarkan sebagai seorang tokoh yang memiliki keberanian tinggi dan terampil dalam melaksanakan berbagai pekerjaan. Mulai dari menjadi petani buruh, buruh pemanjat pohon kelapa, hingga menjadi pengendali gerobak sapi untuk mengangkut hasil panen pertanian.

Berasal dari Mbah Jingan kemudian lama kelamaan, orang-orang menyebutnya lebih singkat menjadi Ba Jingan.

“Awalnya orang-orang menyebut Mbah Jingane endi (Mbah Jingannya di mana)? Lama-kelamaan terdengar samar-samar menjadi Ba Jingane endi (Ba Jingannya di mana)? Lah kata terakhir inilah yang kemudian berkembang sampai sekarang,” tutur Aipda Latif Munir.

Bagi masyarakat Bantul, kata bajingan memang memiliki makna yang mendalam bagi para sopir gerobak sapi di daerah sana. Makna lain bajingan juga kemudian muncul yakni terkait dengan orang yang tak pernah meninggalkan kewajibannya beribadah meski sering bepergian.

Hal ini dituturkan oleh salah seorang sopir gerobak sapi di Pedukuhan Jodog, Bantul, bernama Sriyanto (48). Ia mengungkapkan bahwa bajingan memiliki filosofi yang dalam bagi kalangan mereka dan sangat jauh dari makna negatif.

Bajingan itu bagusing jiwo angen-angen ning pangeran. Jadi pangeran itu seneng arepo sopir gerobak bajingan ning watake apik. Eling karo pangeran eling karo sembahyang,” ungkap Sriyono, sebagaimana dikutip dari detikJateng.

Jika diartikan, bajingan itu bagusing jiwo angen-angen ning pangeran atau bagusnya jiwa yang memikirkan Tuhan. Jadi Tuhan pasti senang, meskipun hanya sopir gerobak sapi (bajingan) tetapi punya watak yang bagus. Selalu ingat dengan Tuhan dan beribadah.

Mengalami Pergeseran Makna yang Sangat Jauh

Dengan menilik sejarah kembali, tentu kemunculan kata bajingan seperti tidak dilihat sebagai produk budaya. Padahal jika KBBI menelusurinya, mungkin masyarakat bisa mengenal kata bajingan tak hanya sebagai makian tetapi juga produk sejarah.

Bajingan mungkin telah terancam punah sebagai sebuah profesi. Tetapi, istilah bajingan akan selalu ada dalam catatan sejarah terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa. Fahri Zulfikar/detik