Hidup sebagai orang kaya tentu saja sangat enak. Dia tinggal di rumah mewah, berpergian naik pesawat jet, hingga bisa melakukan banyak hal lain.

Terkadang, kehidupan demikian bisa menjadikan seseorang “hidup di atas menara gading.”

Maksudnya, timbul sikap tidak menghiraukan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Atau tidak menengok kehidupan orang-orang di sekitar.

Meski begitu, salah satu orang terkaya dan terhormat di Indonesia, Sultan Hamengkubuwana IX, memberi teladan baik: hidup tak memperlihatkan harta hingga beralih menjadi supir truk.

Bagaimana Ceritanya?
Sebagai catatan, Sultan Hamengkubuwana IX merupakan penguasa Yogyakarta sejak 1940.

Dia praktis menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia karena memperoleh harta banyak dari warisan dan sistem feodalisme kerajaan.

Tak diketahui pasti berapa kekayaannya, tapi dia tercatat sejarah sebagai sosok dermawan yang kerap membagi-bagikan harta.

Ketika awal kemerdekaan, misalnya, dia menyumbang uang 6,5 juta gulden ke pemerintah dan 5 juta gulden untuk rakyat yang menderita. Nominal segitu setara Rp20-30 miliar pada masa sekarang.

Meski banyak uang dan hidup penuh kehormatan, Sri Sultan tak terlena. Banyak orang merekam kebiasaannya hidup tak memamerkan harta.

Diceritakan dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX (1982), Sri Sultan tercatat pernah beli es gerobakan di pinggir jalan depan Stasiun Klender, Jakarta, pada 1946.

Kala itu, cuaca sangat panas dan Sultan butuh minuman segar. Bisa saja dia pergi ke restoran dan jajan di sana, tapi dia ogah dan memilih minum es di pinggir jalan sebab jaraknya lebih dekat.

Selain itu, pernah suatu waktu, Sultan menjadi supir truk pengangkut beras.

Cerita ini bermula ketika Sri Sultan mengendarai truk Land Rover miliknya dari pedesaan ke pusat kota.

Di tengah jalan, dia dihentikan oleh seorang perempuan penjual beras. Perempuan itu ingin ikut serta ke pasar di kota.

Bahkan, langsung meminta sopir membantunya mengangkut beras ke dalam truk.

Semua terjadi begitu saja tanpa tahu orang yang ditumpanginya adalah Raja Jawa.

Sri Sultan lantas langsung manut dan mengangkat dua karung besar ke truk.

Dalam otobiografi Pranoto Reksosamodra berjudul Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra (2015) diceritakan, selama perjalanan penjual beras dan Sri Sultan asyik mengobrol tanpa tahu obrolan berlangsung bersama penguasa nomor satu.

Saat tiba di pasar, Sri Sultan juga bertugas layaknya supir pada umumnya, yakni menurunkan karung tersebut.

Lalu, si penjual beras memberikan upah. Namun, Sri Sultan dengan sopan menolak pemberian dan mengembalikan uang tersebut.

Penjual beras malah bersikap reaksioner. Dia marah dan merasa tersinggung sebab mengira supir truk tak mau menerima uang karena nominalnya terlalu sedikit.

Sri Sultan segera pergi meninggalkan penjual beras. Sementara perempuan itu masih tak menerima penolakan dan memandang supir tersebut sombong tak butuh uang.

Dengan mulut terus-terusan menggerutu, ada orang yang akhirnya memberitahu penjual beras. Bahwa, sebenarnya supir truk yang marahi habis-habisan adalah Sultan Hamengkubuwana IX.

Saat mendengar ini, penjual beras itu kaget dan pingsan hingga dibawa ke rumah sakit.

Kejadian tersebut lantas terdengar ke telinga Sri Sultan. Seketika, Sultan langsung memacu kendaraannya ke rumah sakit dan menjenguk penjual beras tersebut.

Source : CNBC Indonesia