Siapa sangka, minyak jelantah dan limbah kelapa sawit yang sering dianggap tak bernilai justru menjadi primadona di pasar global.
Dari Vietnam hingga Brasil, residu ini diubah menjadi bahan bakar hijau, pelumas, hingga aditif industri.
Namun, di tengah lonjakan permintaan, pemerintah Indonesia mengambil langkah berani dengan memperketat ekspor produk turunan sawit demi keberlanjutan pasokan dalam negeri.
Langkah ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 2/2025 yang menggantikan Permendag No 26/2024.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan, kebijakan ini bertujuan menjaga ketersediaan bahan baku untuk industri minyak goreng domestik dan program biodiesel berbasis sawit (B40).
“Kami memprioritaskan industri dalam negeri agar tetap kompetitif dan mendukung transisi energi hijau. Meski ada dampak jangka pendek pada pelaku ekspor, kebijakan ini penting untuk menjaga stabilitas pasokan,” ungkap Budi.
POME dan HAPOR “Harta Karun” Baru di Industri Sawit
Ekspor residu sawit seperti Palm Oil Mill Effluent (POME) dan High Acid Palm Oil Residue (HAPOR) mencatatkan kinerja impresif, bahkan melampaui ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang Januari-Oktober 2024, ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton, jauh di atas ekspor CPO yang hanya 2,70 juta ton. Tren ini menegaskan potensi besar residu sawit di pasar internasional.
Namun, praktik pencampuran CPO dengan POME dan HAPOR untuk memenuhi kuota ekspor menimbulkan kekhawatiran.
“Praktik ini dapat mengurangi pasokan CPO domestik, yang seharusnya dimanfaatkan untuk mendukung program B40 dan kebutuhan minyak goreng,” tegas Budi.
Fenomena lain adalah meningkatnya pabrik kelapa sawit nonkonvensional yang langsung mengolah Tandan Buah Segar (TBS) menjadi POME dan HAPOR, sehingga menyulitkan pabrik tradisional mendapatkan bahan baku.
Minyak Jelantah, Dari Limbah Jadi Komoditas Emas
Di sisi lain, minyak jelantah yang kerap dianggap limbah rumah tangga kini menjadi komoditas yang dilirik pasar global.
Ekspor minyak jelantah (kode HS15180060) Indonesia ke Vietnam mencapai 2,79 juta kilogram dengan nilai US$ 2,85 juta, disusul China dengan volume 1,01 juta kilogram senilai US$ 1,01 juta.
Negara-negara seperti Filipina, Lituania, dan Brasil juga aktif mengimpor minyak jelantah untuk berbagai kebutuhan.
Vietnam memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel, sementara China mengolahnya untuk biodiesel dan pakan ternak.
Di Eropa, minyak ini diubah menjadi bahan bakar ramah lingkungan, sesuai dengan regulasi emisi karbon yang ketat.
Harga ekspor minyak jelantah pun bervariasi, dengan rata-rata ke Vietnam mencapai US$ 1,02 per kilogram. Sayangnya, pengelolaan minyak jelantah di Indonesia masih minim akibat kurangnya infrastruktur pengumpulan dan edukasi masyarakat.
Kebijakan Berimbang untuk Keberlanjutan
Pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan kebutuhan domestik dan peluang ekspor.
Salah satu solusi adalah membangun infrastruktur pengumpulan minyak jelantah dan residu sawit, memberikan insentif bagi pelaku usaha, serta memperkuat industri biodiesel domestik.
Langkah ini tidak hanya meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, tetapi juga mendukung upaya pengurangan emisi karbon.
Sebagai penutup, Permendag No 2/2025 mencerminkan strategi berimbang antara menjaga pasokan domestik dan memanfaatkan peluang global.
Dengan sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat, minyak jelantah dan residu sawit bisa menjadi motor penggerak ekonomi hijau Indonesia, sekaligus bukti bahwa limbah pun bisa menjadi emas.
|CNBC Indonesia Research|