Bismillaahirrohmannierrohiem. Sang ayah tersenyum mendengar pertanyaan anaknya yang penuh filosofi.
“Nak, kita sering mendengar istilah manusia kesetanan, yang berarti seseorang bertindak dengan nafsu yang tak terkendali—rakus, kejam, dan menghalalkan segala cara. Tapi pertanyaanmu menarik, adakah setan yang kemanusiaan?”
Ia berhenti sejenak, lalu berkata, “Jika kesetanan berarti manusia kehilangan sifat baiknya, maka kemanusiaan berarti memiliki hati, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Dalam cerita-cerita sufi, ada kisah bahwa Iblis sendiri dahulu adalah makhluk yang taat sebelum kesombongannya membuatnya jatuh. Artinya, setan memiliki potensi untuk berbuat baik, tetapi memilih jalan pembangkangan.”
Anak itu mengangguk, lalu bertanya, “Jadi, mungkin tidak ada setan yang benar-benar memiliki kemanusiaan?”
Sang ayah tersenyum bijak. “Dalam makna harfiah, mungkin tidak. Tapi jika kita melihat dunia ini, ada manusia yang lebih buruk dari setan dan ada pula manusia yang mampu menaklukkan ‘setannya’ sendiri. Terkadang, seseorang yang dahulu jahat bisa berubah menjadi baik ketika hatinya tersentuh oleh kasih sayang, oleh rasa kemanusiaan.”
Ia menambahkan, “Ramadhan mengajarkan kita bahwa manusia selalu berada dalam pertarungan batin. Bukan sekadar melawan setan yang nyata, tetapi juga menaklukkan ‘setan’ dalam diri sendiri—keserakahan, kebencian, dan kesombongan. Jika manusia mampu melampaui godaan itu, ia telah menang atas dirinya sendiri.”
Sang anak tersenyum, memahami bahwa kebaikan bukanlah sekadar tentang menang melawan setan di luar, tetapi juga menundukkan gelap dalam diri sendiri. (FR)