Bismillaahirrohmannierrohiem.
Sang ayah tersenyum mendengar pertanyaan dalam itu. Ia menatap anaknya dengan lembut, lalu berkata, “Nak, pertanyaanmu adalah pertanyaan besar yang telah direnungkan oleh para filsuf, nabi, dan pemikir sepanjang sejarah manusia.”
Ia menghela napas, lalu melanjutkan, “Misi hidup kita bukan sekadar lahir, makan, bekerja, lalu mati. Jika hanya itu, lalu apa bedanya manusia dengan makhluk lain? Kita diberi akal, hati, dan jiwa karena ada tujuan yang lebih besar.”
Sang anak menatap ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Sang ayah melanjutkan, “Misi kita adalah menjadi manusia seutuhnya—mengenal Tuhan, memahami diri sendiri, dan memberi manfaat bagi sesama. Hidup adalah perjalanan menemukan makna, di mana kita diuji dengan kebaikan dan keburukan, cinta dan kehilangan, kebahagiaan dan penderitaan. Semua itu untuk membentuk kita menjadi jiwa yang lebih matang.”
Sang anak bertanya, “Tapi, Ayah, bagaimana kita tahu bahwa kita sudah menjalankan misi itu dengan baik?”
Sang ayah tersenyum, “Jika di setiap langkah hidupmu kau bertanya: ‘Apakah ini mendekatkanku kepada kebaikan? Apakah ini menjadikanku manusia yang lebih baik?’—maka kau sedang berada di jalan yang benar. Misi hidup bukan tentang seberapa banyak harta yang kau kumpulkan, tetapi seberapa besar manfaat yang kau berikan. Bukan tentang berapa lama kau hidup, tetapi tentang bagaimana kau hidup.”
Ia menambahkan, “Ramadhan adalah momen untuk mengingat misi kita. Dengan berpuasa, kita belajar menundukkan nafsu. Dengan berbagi, kita belajar bahwa hidup bukan hanya tentang diri kita sendiri. Dengan beribadah, kita mengingat bahwa suatu hari kita akan kembali kepada-Nya.”
Sang anak terdiam, merenungi bahwa hidup bukan sekadar menjalani hari, tetapi tentang bagaimana menjadikannya berarti. (FR)