Bismillaahirrahmanierrahiem. Sang ayah menatap anaknya dengan lembut dan berkata, “Nak, pertanyaanmu adalah pertanyaan tentang luka jiwa manusia. Mengapa orang yang sudah bergelimang harta masih berbuat curang? Jawabannya terletak pada kekosongan dalam diri mereka.”
Ia melanjutkan, “Manusia tidak hanya lapar akan makanan, tetapi juga akan makna. Ada dua jenis kelaparan dalam hidup: kelaparan fisik dan kelaparan jiwa. Orang miskin lapar akan makanan, tetapi orang serakah lapar akan kepuasan yang tidak ada ujungnya. Mereka yang telah memiliki segala sesuatu secara materi tetapi tetap mengorupsi, sesungguhnya mengalami kelaparan jiwa—sebuah kehampaan yang tidak bisa diisi dengan uang.”
Sang anak mengernyitkan dahi. “Tapi ayah, bukankah mereka tahu itu salah?”
Ayahnya tersenyum pahit. “Mengetahui dan merasakan adalah dua hal yang berbeda. Mereka tahu itu salah, tapi hati mereka telah mati rasa. Seperti orang yang makan terus-menerus tanpa pernah merasa kenyang, mereka tidak lagi mencari kebahagiaan dari kebaikan, tetapi dari penguasaan. Keserakahan adalah penyakit jiwa yang tumbuh saat manusia kehilangan rasa cukup, lupa pada batas, dan menjadikan materi sebagai tuhan mereka.”
Ia melanjutkan, “Ramadhan mengajarkan kita sebaliknya. Saat kita berpuasa, kita belajar bahwa menahan diri lebih berharga daripada menuruti hawa nafsu. Kita belajar bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi merasa cukup dengan apa yang kita punya.”
Sang anak mengangguk perlahan, memahami bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga luka spiritual yang menggerogoti manusia dari dalam. (FR).