Pangeran Samudera pukul 21 lewat 5 menit WITA.
Malam merangkak perlahan. Lalu lintas kendaraan bergerak laju satu arah menuju perempatan Kantor Pos Besar Banjarmasin, Gereja Katedral dan bekas Hotel Arum Kalimantan.
Najib, lelaki berusia 70 tahun, setia dengan profesinya meramu jamu. Ia baru saja melayani konsumen yang minum di warungnya. Botol-botol kosong yang tadinya berisi cairan ramuan campuran jamu adonannya, yang sudah habis dituangkan, disimpan di beberapa bakul.
“Sudah 40 tahun saya jualan jamu,” katanya ketika ditemui di lapak jamunya di pinggir jalan Pangeran Samudera, Banjarmasin, Sabtu (3/8/2024) malam.
Perkenalan Najib dengan jamu dimulai ketika ia masih muda ikut membantu pamannya yang berdagang jamu di Pasar Sudimampir pada tahun 70-an.
Berbekal pengalaman itu ia memberanikan diri buka usaha sendiri, pada tahun 80-an di sepanjang kiri-kanan ruas jalan Pangeran Samudera, tak jauh berjalan kaki dari tempat tinggalnya di samping Masjid Noor.
Ia mulai menata meja dagangan usai shalat Isya. Empat hari dalam seminggu. Minggu, Rabu, Kamis malam ia tutup.
“Waktu masih zaman batubara rame, jualan jamu juga luar biasa rame. Mobil-mobil orang batubara antre panjang. Saya sering baru pulang jam dua pagi,” tuturnya.
Berbeda dengan pedagang yang lain, Najib meracik sendiri jamunya. “Saya mendatangkan bahan-bahan jamu dari Yogyakarta. Belinya karungan,” tambahnya.
Untuk bahan-bahan yang berupa kemasan ia menyiapkan sejumlah produk jamu pabrikan dari Jawa. Ada Tangkur, Sabdo Palon, Sabdo Rakit Wangi, Sari Sirih dan Kuku Bima.
Beberapa produk jamu lawas produksi lokal seperti cap Mandau dan Singa Banteng yang sempat jadi saksi perjalanan panjang Najib kini tinggal cerita kenangan karena sudah tidak diproduksi.
Produk yang masih bertahan dan selalu Najib siapkan adalah Kuku Bima Sido Muncul. Puluhan bungkus jamu kesehatan stamina pria warna merah bergambar tokoh ksatria perkasa anggota Pandawa Lima: Bima itu terhampar bertumpuk-tumpuk di meja dagangan jamu Najib.
Warung jamunya tak bernama seperti pedagang umumnya di sepanjang jalan utama di pusat kota Banjarmasin itu. Hanya ada daftar harga.
“Saya memang tidak pernah promosi dan pakai nama. Semua pelanggan lama saya sudah tahu. Pelanggan mulai dari orang PLN, pekerja di perusahaan tambang batubara dan Perum Pel (Pelindo),” ungkap pria keturunan Yaman ini.
Para pelanggan setianya, sebut Najib, adalah orang-orang memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatan agar selalu prima dengan rutin mengkonsumsi jamu.
Waktu jualan masih rame ia menyiapkan telur bebek dalam jumlah beberapa rak. “Hampir tidak bisa santai duduk-duduk seperti sekarang.”
Meski penjualan kini sudah jauh merosot, kios jamu Najib tidak terlalu sepi pengunjung. Berdasarkan pemantauan Monitor Borneo, dalam hitungan menit ada saja pelanggan datang bergantian. Rata-rata langsung minum di tempat. Sebagian membungkus pulang.
Menurut dia, yang menyukai jamu umumnya adalah orang dewasa. Anak muda, yang belum berkeluarga, memilih kongkow pergi ke kafe di kawasan Jalan Bank Rakyat dan Simpang Hasanudin HM yang terletak hanya ratusan meter dari lapak Najib.
“Itu tadi suami istri. (Minum jamu) 50 ribu. Istrinya juga minum jamu,” ia menjelaskan.
Imbas dari situasi ekonomi dalam 10 tahun terakhir ini, waktu buka lapak jamu Najib juga lebih singkat. “Sekarang tak sampai jam 12 malam, paling jam 11 sudah selesai. Usia juga sudah tak kuat lagi (begadang) seperti dulu,” pungkasnya. YUD